Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan, maka dia bersyukur. Maka hal itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila dia tertimpa kesusahan maka dia bersabar. Maka itu juga merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Dua pilar keimanan
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam Madarij as-Salikin menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari dua bagian, satu bagian sabar dan satu bagian yang lain adalah syukur. Terdapat riwayat serupa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam namun riwayat itu dilemahkan oleh Syaikh al-Albani (lihat ad-Dha’ifah [625]). Ibnul Qayyim juga menggambarkan bahwa sabar bagi iman laksana kepala bagi tubuh seorang insan. Ungkapan serupa juga diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu. Sehingga, tidak ada iman pada diri orang yang tidak memiliki kesabaran, sebagaimana halnya tidak berfungsi tubuh apabila tidak ada kepalanya (lihat Hasyiyah Kitab at-Tauhid).
Demikian pula syukur, ia merupakan bukti keseriusan seorang hamba dalam mengabdi dan tunduk kepada Rabbnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan bersyukurlah kepada Allah jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. al-Baqarah ; 172). Allah menciptakan pendengaran, penglihatan, dan hati adalah untuk bersyukur kepada-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah mengeluarkan kalian dari perut ibu-ibu kalian dalam keadaan kalian tidak mengetahui apa-apa, dan Allah menciptakan untuk kalian pendengaran, penglihatan, dan hati mudah-mudahan kalian bersyukur (kepada-Nya).” (QS. an-Nahl : 78).
Syukur ketika mendapat nikmat
Syukur adalah ibadah yang sangat agung. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku pun akan mengingat kalian, dan bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (QS. al-Baqarah : 152). Barangsiapa yang bersyukur kepada Allah maka Allah akan tambahkan nikmat kepada-Nya. Sebaliknya, barangsiapa yang justru kufur maka sesungguhnya siksaan Allah sangatlah keras. Allah berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Rabb kalian mengumumkan kepada kalian; Jika kalian bersyukur maka akan Aku tambahkan nikmat-Ku atas kalian dan jika kalian kufur, sesungguhnya siksa-Ku sangatlah keras.” (QS. Ibrahim : 7).
Hakikat dari syukur itu adalah mengakui di dalam hati bahwa nikmat yang ada ini adalah dari Allah, memuji Allah dengan lisannya, dan menggunakan nikmat-nikmat itu untuk taat kepada-Nya. Di dalam Madarij as-Salikin, Ibnul Qayyim rahimahullah memaparkan bahwa syukur itu akan tegak jika ditopang oleh lima pilar : [1] tunduk dan merendah kepada Dzat yang disyukuri -yaitu Allah-, [2] cinta kepada-Nya, [3] mengakui bahwa nikmat itu adalah pemberian-Nya, [4] memuji-Nya -dengan lisan- atas limpahan nikmat tersebut, dan [5] tidak memanfaatkannya dalam perkara yang dibenci-Nya. Inilah lima pilar syukur, apabila salah satunya hilang maka cacatlah syukur yang ada pada diri seorang hamba.
Jangan salah sangka!
Namun perlu disadari bahwa nikmat itu ada yang dimiliki oleh semua orang -bahkan orang kafir sekali pun- dan ada juga yang hanya dimiliki oleh orang mukmin. Nikmat keduniaan seperti makanan, minuman, tempat tinggal, kesehatan, dan harta merupakan nikmat yang didapatkan oleh mukmin maupun kafir. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Pada hari itu -kiamat- tidaklah bermanfaat harta dan keturunan melainkan bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. as-Syu’ara’ : 88-89). Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Seandainya anak keturunan Adam memiliki dua lembah harta niscaya dia masih akan mencari yang ketiga. Dan tidak akan pernah menyumbat rongga anak Adam selain tanah, dan Allah menerima taubat bagi siapa pun yang mau bertaubat.” (HR. Bukhari).
Oleh sebab itu nikmat semacam ini bukan ukuran kemuliaan dan kebahagiaan yang sejati. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Adapun manusia, apabila Rabbnya menimpakan ujian kepadanya dengan memuliakan dan mencurahkan nikmat kepadanya maka dia mengatakan, ‘Rabbku telah memuliakanku’. Dan apabila Dia mengujinya dengan membatasi rezkinya niscaya dia akan mengatakan, ‘Rabbku telah menghinakanku’. Sekali-kali bukan demikian…” (QS. al-Fajr : 15-17).
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Maknanya adalah: Tidaklah setiap orang yang Aku (Allah) berikan kemuliaan di dunia dan Kuberikan kenikmatan dunia kepadanya maka itu berarti Aku benar-benar mengaruniakan nikmat yang hakiki kepadanya. Karena sesungguhnya hal itu merupakan cobaan dari-Ku kepadanya sekaligus sebagai ujian untuknya. Dan tidak pula setiap orang yang Aku batasi rezkinya sehingga Aku jadikan rezkinya sebatas apa yang diperlukannya saja tanpa ada kelebihan maka itu artinya Aku sedang menghinakan dirinya. Namun, sesungguhnya Aku sedang menguji hamba-Ku dengan nikmat-nikmat sebagaimana halnya Aku ingin menguji dirinya dengan berbagai bentuk musibah.” (Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah)
Sedangkan nikmat yang berupa kepahaman tentang agama, anak yang berbakti, dan istri yang salihah merupakan bagian dari kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah maka akan dipahamkan dalam hal agama.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana pula yang Allah ceritakan mengenai Ibadur Rahman yang berdoa kepada Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, istri-istri kami dan anak keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Furqan : 74). Namun, tentu saja hal itu tidak boleh menyeret orang berbangga-bangga dan sombong dengan ilmu dan amalnya. Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai orang-orang yang benar-benar berilmu (yang artinya), “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir : 29). Ibnu Abi Mulaikah mengatakan, “Aku bertemu dengan tiga puluh orang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka semua merasa takut dirinya tertimpa kemunafikan.” (HR. Bukhari secara mu’allaq).
Berdoalah untuk bisa bersyukur kepada-Nya
Mu’adz bin Jabal -radhiyallahu’anhu- menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangannya seraya mengucapkan, “Hai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu. Demi Allah, aku benar-benar mencintaimu.” Lalu beliau bersabda, “Aku wasiatkan kepadamu hai Mu’adz, jangan kamu tinggalkan bacaan setiap kali di akhir sholat hendaknya kamu berdoa, ‘Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik’ (Ya Allah, bantulah aku untuk mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu, dan beribadah dengan baik kepada-Mu).” (HR. Abu Dawud, disahihkan al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Abi Dawud [1522])
Sabar ketika tertimpa musibah
Musibah berupa penyakit, kecelakaan, kemiskinan, adalah perkara biasa yang dihadapi oleh manusia. Tidak ada bedanya antara orang yang beriman dengan orang yang kafir, mereka semua bisa mendapatkannya. Hanya saja, seorang yang benar-benar beriman kepada Allah dan takdir-Nya maka dia akan menjadikan musibah itu sebagai ladang pahala baginya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami benar-benar akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, dan kekurangan harta, hilangnya jiwa, dan sedikitnya buah-buahan. Maka berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengatakan; Sesungguhnya kami ini milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Mereka itulah orang yang mendapatkan ucapan salawat/pujian dari Rabb mereka dan curahan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (QS. al-Baqarah : 155-157).
Sabar adalah anugerah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seseorang mendapatkan pemberian yang lebih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” (HR. Bukhari dan Muslim). Hakikat dari sabar itu adalah menahan diri dari marah kepada Allah, menahan lisan agar tidak mengeluh dan murka kepada takdir, serta menahan anggota badan agar tidak melakukan perkara-perkara yang dilarang seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek pakaian, dsb (Hasyiyah Kitab at-Tauhid).
Sesungguhnya dengan adanya musibah, maka seorang hamba akan mendapatkan pengampunan dari Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada suatu musibah yang menimpa seorang muslim melainkan Allah akan menghapuskan dosa dengannya sampai pun duri yang menusuk badannya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada diri seorang hamba maka Allah akan menyegerakan hukuman baginya di dunia. Dan apabila Allah menghendaki keburukan bagi hamba-Nya maka Allah akan menunda hukuman atas dosanya itu sampai pada hari kiamat nanti hukuman itu baru akan ditunaikan.” (HR. Tirmidzi, disahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ [308]).
Meskipun demikian, seseorang tidak boleh berdoa kepada Allah agar hukumannya disegerakan di dunia. Dikisahkan bahwa dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengunjungi seorang yang sakit di antara para sahabatnya yang kondisinya sangat lemah. Maka Nabi bertanya kepadanya, “Apakah engkau meminta atau berdoa sesuatu kepada Allah sebelum ini?”. Maka lelaki itu menjawab, “Ya, dahulu saya pernah berdoa; Ya Allah, hukuman yang akan Kamu berikan kepadaku di akhirat maka segerakanlah bagiku di dunia.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Subhanallah! Kamu pasti tidak akan sanggup menanggungnya, tidakkah sebaiknya kamu berdoa; Allahumma aatinaa fid dunya hasanah wa fil aakhirati hasanah wa qinaa ‘adzaaban naar (Ya Allah, berikanlah kebaikan kepada kami di dunia dan kebaikan di akhirat, dan jagalah kami dari neraka).” Maka lelaki itu pun berdoa dengannya dan disembuhkan oleh Allah (HR. Muslim).
Pahala yang besar bersama dengan sabar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya pahala yang besar itu bersama dengan cobaan yang besar pula. Dan apabila Allah mencintai suatu kaum maka Allah akan menimpakan musibah kepada mereka. Barangsiapa yang ridha maka Allah akan ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang murka maka murka pula yang akan didapatkannya.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [146]). Suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Siapakah orang yang paling berat cobaannya?”. Maka beliau menjawab, “Para Nabi, kemudian orang yang seperti mereka sesudahnya, dan orang semacam mereka berikutnya. Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kadar agamanya. Apabila orang itu kuat agamanya maka semakin keras cobaannya. Kalau agamanya lemah maka dia akan dicobaa sesuai dengan kadar agamanya. Maka musibah dan cobaan itu senantiasa menimpa seorang hamba hingga dia ditinggalkan berjalan di atas muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” (HR. Tirmidzi, beliau berkata; hasan sahih)
Sabar pun membutuhkan pertolongan Allah
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bersabarlah, dan tidaklah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan dari Allah.” (QS. an-Nahl : 127). Yang demikian itu dikarenakan sabar itu meliputi tiga cakupan : [1] sabar dalam menjalankan ketaatan, [2] sabar dalam menjauhi kemaksiatan, dan [3] sabar dalam menghadapi takdir yang terasa menyakitkan. Oleh sebab itu, seorang hamba sangat membutuhkan pertolongan dari Allah dalam setiap gerak dan langkahnya. Maka tidak mengherankan jika dalam setiap roka’at sholat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa membaca ayat ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in, ihdinas shirathal mustaqim…’. Karena memang tidak ada bagi kita tempat bergantung dan tambatan hati dalam beribadah dan memohon pertolongan kecuali kepada-Nya. Dan salah satu perkara paling agung untuk dimintakan pertolongan kepada Allah adalah konsisten di atas jalan yang lurus, alias sabar di atas kebenaran. Karena jalan yang lurus itu memadukan antara ilmu dan amalan, niat yang ikhlas dan cara yang benar, sementara keduanya tidak akan diperoleh kecuali dengan kesabaran.
Untuk konsisten dalam melakukan ketaatan seorang hamba membutuhkan kesabaran. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabar dalam mendakwahkan tauhid selama bertahun-tahun dengan harus merasakan beratnya tekanan dan permusuhan dari kaumnya, sungguh perjuangan tak kenal lelah yang membutuhkan kesabaran ekstra. Demikian juga dalam mengendalikan hawa nafsu dan menepis godaan syaitan seorang hamba juga sangat memerlukan perisai kesabaran. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Neraka itu diliputi dengan perkara-perkara yang menyenangkan sedangkan surga itu diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana kesabaran Nabi Yusuf ‘alaihis salam yang akhirnya bisa menyelamatkan beliau dari perbuatan keji. Begitu pula dalam menyikapi musibah yang dialami, sabar harus tetap ada di dalam dada dan perbuatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila ada anak salah seorang hamba itu meninggal maka Allah bertanya kepada malaikat-Nya, ‘Apakah kalian mencabut nyawa anak hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab, ‘Ya.’ ‘Apakah kalian telah mencabut nyawa buah hati hamba-Ku?’. Maka mereka menjawab ‘Ya.’ Lalu Allah bertanya, ‘Apa yang diucapkan oleh hamba-Ku?’. Mereka menjawab, ‘Dia memuji-Mu dan beristirja’ -membaca innaa lillaahi dst-..’ Maka Allah berfirman, ‘Bangunkanlah untuk hamba-Ku itu sebuah rumah di surga, dan beri nama rumah itu dengan Bait al-Hamd.’.” (HR. Tirmidzi, dihasankan al-Albani dalam as-Shahihah [1408]).
Semoga Allah melimpahkan kepada kita kesabaran ketika tertimpa musibah, sabar ketika menjauh dari dosa, dan sabar ketika menjalankan ketaatan kepada-Nya, sebagaimana kita memohon kepada Allah yang ada di atas Arsy sana agar mematikan kita sebagai mukmin yang pandai bersyukur kepada-Nya. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.